Author : Kanon Kuroii
Chapter : 8/??
Genre : romance, humor
Pairing : AoixUruha, ToraxAoi (one-sided), more to come
Rating : R (for this chapter)
Warning : Manxman, idiot author, hentai Tora!
Disclaimer :
Comment : fanfic series pertama^^d
Prologue/Chapter 1/Chapter 2/Chapter 3/Chapter 4/Chapter 5/Chapter 6/Chapter 7
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxP7Kd_cgvyhU1NPyMEyM3IvDKMilpd3YmGiKR8mEMIueAVGVp-edrLbXcc9DVR_haThQ41buBkE523ReCTXvuTQODzKdjo0KLRt_b0aFNj073QfLffzGXz55_TB4dROsRHlQVvupgthco/s320/cap8.jpg)
“T—Tora,“ Aoi mendesah pelan saat Tora membuka bajunya dan mulai menciumi leher Aoi yang berkeringat tersebut. Dengan pelan Tora membuka kancing seragam Aoi dan mulai meraba dada Aoi yang bidang dan tangannya mulai turun untuk membuka ikat pinggang Aoi. Aoi pun menggenggam lengan Tora dengan kencang dan menggigit bibir bawahnya agar desahanya tidak terdengar oleh para murid yang sedang beristirahat di dalam gedung. Tora pun akhirnya berhasil membuka ikat pinggang dan kancing celana Aoi, senyum kemenangan terlukis di bibirnya yang tetap menjilati dan menggigit leher Aoi, dan dengan segera, Tora langsung memasukkan tangannya ke dalam bokser Aoi dan menemukan apa yang di carinya. “Ahhh...“ Aoi yang daritadi berusaha menahan desahannya pun akhirnya tidak dapat menahannya.
Mata Tora terbuka dengan cepat dan langsung terbangun dari tidurnya. Ia memandang sekeliling, dinding yang berwarna abu – abu dan berposter berbagai macam band, laptop dan jam yang menunjukkan pukul 2 siang yang berada di pojokan ruangan, kasur king-sizenya yang berselimut warna hitam. Sudah jelas bahwa ia berada di dalam kamarnya. Tora pun menghelakan nafasnya dengan lega dan menyenderkan badannya ke kepala kasurnya. Ia menyeka keringat di mukanya sambil memikirkan mimpinya barusan.
Hell no! Ada apa denganku!? Kenapa aku memimpikan orang tersebut!? Terlebih lagi— Mimpi macam apa itu!? Aku memang sering bermimpi seperti itu dengan seorang wanita. Tapi tidak dengan sesama jenis seperti Aoi! Ada apa denganku ini!?— Tora membenamkan mukanya di kedua telapak tangannya dan menghelakan nafas.
Tok Tok...
Tora menoleh ke arah pintu kamarnya, “Siapa?”
“Tora Ouji-sama, teman – teman anda ingin bertemu dengan anda,”
“Hay Tora-shi!” Shou melangkahkan kakinya ke dalam kamar Tora dengan semangat. Disusul oleh Saga, Hiroto dan Nao.
“Ada apa denganmu Tora? Mukamu terlihat pucat,” Nao memandang muka Tora dengan khawatir dan memegang kening Tora. “Kau sepertinya tidak panas,”
“Aku tidak apa – apa Nao,” jawab Tora. “Apa yang kalian lakukan disini?”
“Semua ayah kita sedang rapat bersama di ruangan ayahmu, sepertinya mereka bertransaksi dengan seorang pemerintah untuk membunuh perdana mentri Korea,“ ucap Hiroto sambil berjalan ke arah laptop Tora dan memainkannya. Tora pun hanya mengangguk pelan. Entah mengapa pekerjaan ayahnya sama sekali tidak membuatnya bangga. Di dalam hatinya dan seluruh anak 5 Disaster, mereka sangat membenci pekerjaan orang tua mereka yang selalu membunuh orang dan menghidupi keluarga mereka dengan uang haram. Mereka selalu iri dengan kehidupan anak dari kelas A yang memiliki masa depan cerah. Tidak seperti mereka yang memiliki masa depan sebagai pembunuh.
Tora pun bangun dari kasurnya dan berjalan ke kamar mandi.
***
“Terlambat lagi, Takanori-kun?“ Mrs. Yume sudah menatap Ruki yang baru memasuki ruang kelas dengan tenang dengan tatapannya yang tajam. Kai yang sedang menyalin pelajaran yang di tulis di papan tulis pun menoleh ke arah Ruki yang berada di depan pintu.
“Aakh—“ Ruki hanya menggerang dengan pasrah dan berjalan ke arah luar kelas dan berdiri di sebelah pintu kelas.
“Sepertinya kau sudah memahami apa yang harus kau lakukan ketika terlambat, Takanori-kun...“ sindir Mrs. Yume sambil menutup pintu kelasnya.
“Damn!“ umpat Ruki kesal, ia memang paling membenci guru keseniannya tersebut karena hanya guru itu saja lah yang tidak takut dengan namanya sebagai ’5 Bintang’. Ruki pun menyenderkan punggungnya ke dinding luar kelas, tatapannya menatap jendela di seberang koridor. Tiba – tiba mata Ruki terbelalak tidak percaya melihat Yuu, baru saja muncul dari ujung koridor kelas mereka. Terlihat ada luka lebam di ujung bibirnya dan terdapat lingkaran hitam di sebelah matanya yang menunjukan bahwa ia tidak tidur semalaman. Dengan cuek Yuu melewati Ruki yang memandangnya dengan seksama dan masuk ke dalam kelas.
“Yuu-kun!?“ Mrs. Yume menatap Yuu dengan ekspresi yang tidak kalah kagetnya dengan Ruki. “Suatu kejadian yang jarang sekali terjadi. Kenapa kau terlambat!? Dan ada apa dengan bibirmu!?“ tapi Yuu menghiraukan pertanyaan dari Mrs. Yume dan hanya menunduk ke bawah.
“Maafkan saya Yuu-kun, tapi kau harus berdiri di koridor kelas seperti Takanori-kun.“ Ucap Mrs. Yume. Yuu pun hanya mengangguk pelan dan berjalan keluar kelas. Takanori kembali menatapnya dengan tatapan aneh, tapi ia menghiraukannya dan berdiri di sebelahnya.
Hening...
Ruki kembali menatap ke arah jendela. Ia berusaha mengalihkan perhatiannya dari orang yang berdiri di sebelahnya. Selama ia bersekolah di St. Angelo, belum pernah sekalipun ia berbicara dengan seorang Shiroyama.
“Err—apa yang membuatmu terlambat, Aoi-kun?” Ruki mencoba memecahkan kesunyian.
“Tidak ada yang mengizinkanmu memanggilku dengan sebutan itu, Matsumoto.” jawabnya cepat.
“M—maafkan aku, Shiroyama.” Dengan itu pun Ruki menghentikan niatnya untuk berbicara dengan Yuu.
***
“Dia apa!?” Uruha kaget bukan main saat mendengar cerita Ruki tentang tadi pagi. Roti yang di makannya berlompatan keluar dari mulutnya.
“Bibirnya. Robek. Kouyou...” Ruki mengucapkannya sepatah – sepatah dan dengan penuh penekanan. Saat ini seluruh anggota 5 Bintang—kecuali Aoi—sedang berkumpul di kafetaria sekolah mereka saat istirahat siang.
“Aku tidak heran kalau kau terkejut, Uruha...” komentar Kai. “...Aku pun tidak kalah terkejutnya denganmu. Yuu terlihat berantakan pagi ini, Mrs. Yume juga terlihat sangat terkejut.“
“Tapi kenapa ia terlihat seperti berantakan sekali?“ tanya Ruki.
“Mungkin sesuatu terjadi saat ia akan berangkat sekolah,“ terka Kai.
“Aku akan bertanya padanya saat kelas gitar nanti,“ Uruha memakan makanannya. Tapi di dalam hatinya ia sedang memikirkan Aoi. Hey! Kenapa aku memikirkannya!? Apa aku khawatir padanya!?—batin Uruha.
***
Aoi menyandarkan punggungnya ke pagar atap sekolah. Lagi – lagi ia bolos kelas gitarnya. Kepalanya mengadah ke langit seperti biasa. Banyak yang terjadi sejak ia mengantarkan Uruha ke rumah Reita.
Aoi memarkirkan mobilnya di depan pintu rumahnya dan menyuruh pelayannya untuk memarkirkan mobilnya ke garasi.
“Onii-saaaan!” Kanon berlari menyambut Aoi yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan semangat. “Kapan kita akan belajar gitar? Aku sudah tidak sabar! Kau harus mengajariku lagu Luna Sea! Boleh aku pinjam gitarmu?” Kanon membombardir Aoi dengan pertanyaan.
“Sabar Kanon, aku pasti akan mengajarimu...” Aoi tertawa kecil dan mengusap kepala adiknya dengan sayang. Di antara seluruh keluarganya, hanya Kanon yang benar – benar ia sayang. Karena hanya Kanon lah yang benar – benar menunjukkan perhatian kepadanya.
“Uuuung~ kenapa tidak mau bunyi?” dumal Kanon kesal. Aoi pun hanya tersenyum kecil melihat usaha adiknya. “Sepertinya aku memang hanya bisa bermain piano,” ucapnya pasrah.
“Berusahalah Kanon, aku yakin kamu pasti bisa...” ucap Aoi memberikan semangat.
Tapi tiba – tiba pintu kamar Aoi terbuka dengan kencang dan suaranya menggema di seluruh kamar Aoi. Tidak yang seperti Aoi bayangkan, Mr. Shiroyama ternyata pulang lebih awal. Dan ia mendengar dan melihat Kanon, anak yang menjadi penerus orkestranya sedang belajar bermain gitar.
“A—ayah...” Kanon menjerit pelan. Dengan spontan ia melepas gitar Aoi dan terjatuh di atas kasur. Sedangkan Aoi hanya menatap ayahnya, mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sebuah kepalan mendarat dengan mulus di ujung bibir Aoi. Membuatnya terjatuh ke lantai dengan benturan yang cukup keras. Kanon menjerit pelan melihat Aoi terjatuh. Air mata mulai turun dari ujung matanya.
“Sudah ku bilang berkali – kali agar jangan mengajari Kanon bermain alat musik sampah seperti itu! Aku tidak ingin penerusku menjadi rusak seperti kamu dan kakakmu!“ bentak Mr. Shiroyama kepada Aoi. Dan dengan kasar, Mr. Shiroyama menarik tangan Kanon dan membawanya keluar dari kamar Aoi. Aoi pun hanya meringkuk di lantai sambil memegang ujung bibirnya yang robek dan berdarah. Ia tidak membiarkan air matanya turun atau itu berarti kalau ia telah kalah.
Aoi tertegun dalam lamunannya. Air mata turun dari matanya tanpa ia sadari. Tapi ia membiarkannya mengalir, membiarkan dirinya melepaskan amarah yang selama ini selalu di tahannya. Karena ia yakin, kalau ia menunjukkan air mata ini di depan ayahnya, maka artinya ia telah kalah dan menyerah.
“Kau menangis?” Aoi terbuyar dari lamunannya dan menatap orang yang telah berdiri di depannya.
“Tora...” ucapnya pelan. Ia menyeka air matanya dengan lengannya.
“Ada apa?” Tora berlutut di depan Aoi dan menatapnya dengan khawatir. Aoi hanya menundukkan kepalanya, ia belum yakin apakah ia akan menceritakan semua kejadian yang di alaminya kepada orang lain. Dan ia pun hanya menggeleng pelan.
Mata Aoi terbelalak ketika ia merasakan sentuhan di pipinya. Ia mengangkat kepalanya perlahan dan melihat Tora sedang memegang pipinya dan dengan perlahan menghapus air matanya dengan jari tangannya. Aoi hanya diam melihat reaksi yang dilakukan oleh Tora. Ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, bahkan oleh ibunya sendiri. Perasaan yang nyaman dan aman. Aoi pun menutup matanya dan berusaha menikmati perhatian yang Tora berikan kepadanya.
Tora pun menatap muka Aoi dengan seksama. Ia sendiri tidak percaya dengan apa yang ia lakukan. Ia tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Tapi entah mengapa saat melihat air mata turun dari mata Aoi, ia merasakan penderitaan yang selama ini tersimpan di dalam diri Aoi. Dan entah mengapa ia sangat ingin menghilangkan penderitaan itu dari Aoi. Ia ingin melihat Aoi bahagia.
Tora menatap muka Aoi dan menyadari kalau Aoi sudah tertidur. Ia tersenyum kecil dan duduk di sebelah Aoi. Dengan pelan ia menyenderkan kepala Aoi ke lehernya. Tora memandang Aoi dengan sekasama. Nafas Aoi yang hangat menggelitik lehernya, mulutnya yang empuk terbuka sedikit dan rambut Aoi yang pendek menempel dengan pipinya. Ia melihat perut Aoi naik dan turun dengan pelan. Sepertinya Aoi tertidur dengan nyenyak.
Senyum kecil terlukis di bibir Tora saat ia melihat Aoi yang sedang tertidur. Terlihat sangat polos seperti anak kecil yang sama sekali tidak ada masalah dalam kehidupannya dan mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Tora pun mengusap pipi Aoi dengan pelan dan mendekatkan kepalanya ke muka Aoi. Dengan perlahan, ia pun menyatukan bibirnya dengan bibir Aoi.
0 komentar:
Leave a Comment